Konstitusi Yang Pernah Berlaku di Indonesia
Pada saat Proklamasi kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945, negara Republik
Indonesia belum memiliki konstitusi atau UUD.
Namun sehari kemudian, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang pertama yang salah
satu keputusannya adalah mengesahkan UUD yang kemudian disebut UUD 1945. Naskah
UUD yang disahkan oleh PPKI tersebut diser-tai penjelasannya dimuat dalam
Berita Republik Indonesia No. 7 tahun II
1946. UUD 1945 tersebut terdiri atas tiga bagian yaitu Pembukaan, Batang Tubuh,
dan Penjelasan. Perlu dikemukakan bahwa Batang Tubuh terdiri atas 16 bab yang terbagi menjadi 37 pasal, serta 4 pasal Aturan
Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan. Mengenai bentuk negara diatur dalam Pasal
1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “negara Indonesia adalah negara kesatuan
yang berbentuk republik”. Sebagai negara kesatuan, maka di negara Republik
Indonesia hanya ada satu kekuasaan
pemerintahan negara, yakni di tangan pemerintah pusat. Di sini tidak ada
pemerintah negara bagian sebagaimana yang berlaku di negara yang berbentuk negara
serikat (federasi). Sebagai negara yang berbentuk republik, maka kepala negara
dijabat oleh Presiden. Presi-den diangkat melalui suatu pemilihan, bukan
berdasar keturunan. Mengenai kedaulatan diatur dalam Pasal 1 ayat (2) yang
menyatakan “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusywaratan Rakyat”. Atas dasar itu, maka kedudukan Majelis Permusywaratan
Rakyat (MPR) adalah sebagai lembaga tertinggi negara. Kedudukan lembaga-lembaga
tinggi negara yang lain berada di bawah MPR. Mengenai sistem pemerintahan negara diatur dalam Pasal 4 ayat (1)
yang berbunyi “Presiden Republik Indone-ia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal tesebut menunjukkan bahwa sistem pemerintahan
menganut sistem presidensial. Dalam sistem ini, Presiden selain sebagai kepala
negara juga sebagai kepala pemerintahan.
Menteri-menteri sebagai pelak-sana tugas pemerintahan adalah pembantu Presiden
yang bertanggung jawab kepada Presiden, bukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR).
Lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi negara menurut UUD 1945
(sebelum amandemen) adalah :
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
b. Presiden
c. Dewan Pertimbanagan Agung (DPA)
d. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
f. Mahkamah Agung (MA)
2. Periode berlakunya Konstitusi
RIS 1949
Perjalanan negara baru Republik
Indonesia tidak luput dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan menjajah
kembali Indonesia. Belanda berusaha
memecahbelah bangsa Indonesia dengan cara membentuk negara-negara ”boneka”
seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, dan
Negara Jawa Timur di dalam negara RepubIik Indonesia. Bahkan, Belanda kemudia
melakukan agresi atau pendudukan terhadap ibu kota Jakarta, yang dikenal dengan
Agresi Militer I pada tahun 1947 dan Agresi Militer II atas kota Yogyakarta
pada tahun 1948. Untuk menye-lesaikan pertikaian Belanda dengan RepubIik
Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan dengan menyelenggarakan Konferensi
Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda) tanggal 23 Agustus – 2 November
1949. Konferensi ini dihadiri oleh
wakil-wakil dari RepubIik Indonesia, BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg,
yaitu gabungan negara-negara boneka yang dibentuk Belanda), dan Belanda serta
sebuah komisi PBB untuk Indonesia. KMB
tersebut menghasilkan tiga buah persetujuan pokok yaitu:
1. didirikannya Negara Rebublik Indonesia
Serikat;
2. penyerahan kedaulatan kepada
Republik Indonesia
Serikat; dan
3. didirikan uni
antara RIS dengan Kerajaan Belanda.
Perubahan bentuk negara dari
negara kesatuan menjadi negara serikat mengharuskan adanya penggantian UUD.
Oleh karena itu, disusunlah naskah UUD Republik Indonesia Serikat. Rancangan UUD tersebut dibuat oleh delegasi RI dan delegasi BFO pada
Konferensi Meja Bundar. Setelah kedua belah pihak menyetujui rancangan tersebut,
maka mulai 27 Desember 1949 diberlakukan suatu UUD yang diberi nama Konstitusi
Republik Indonesia Serikat. Konstitusi tersebut terdiri atas Mukadimah yang
berisi 4 alinea, Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan 197 pasal, serta sebuah lampiran. Mengenai bentuk negara dinyatakan dalam Pasal
1 ayat (1) Konstitusi RIS yang berbunyi “ Republik Indonesia Serikat yang
merdeka dan berdaulat adalah negara
hukum yang demokratis dan berbentuk federasi”. Dengan berubah menjadi negara
serikat (federasi), maka di dalam RIS ter-dapat beberapa negara bagian.
Masing-masing memiliki kekuasaan pemerintahan di wilayah negara bagiannya. Negara-negara bagian itu adalah : negara
Republik Indonesia, Indonesia Timur, Pasundan, Jawa timur, Madura, Sumatera
Timur, dan Sumatera Selatan. Selain itu terdapat pula satuan-satuan kenegaraan
yang berdiri sendiri, yaitu : Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat,
Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur. Selama berlakunya Konstitusi RIS 1949, UUD
1945 tetap berlaku tetapi hanya untuk negara bagian Republik Indonesia.
Wilayah negara bagian itu meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota di
Yogyakarta. Sistem pemerintahan yang digunakan pada masa berlakunya Konstitusi
RIS adalah sistem parlementer. Hal itu
sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat 1 dan 2 Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa ”Presiden tidak
dapat diganggugugat”. Artinya, Presiden
tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tugas-tugas peme-rintahan. Sebab,
Presiden adalah kepala negara, tetapi bukan kepala pemerintahan. Pada Pasal 118
ayat (2) ditegaskan bahwa ”Menteri-menteri
bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk
seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”.
Dengan demikian, yang
melaksanakan dan mempertang-gungjawabkan tugas-tugas pemerintahan adalah
menteri-menteri. Dalam sistem ini,
kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri. Dalam sistem
pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung
jawab kepada parlemen (DPR). Lembaga-lembaga
negara menurut Konstitusi RIS adalah :
a. Presiden
b. Menteri-Menteri
c. Senat
d. Dewan Perwakilan Rakyat
e. Mahkamah Agung
f. Dewan Pengawas Keuangan
3. Periode Berlakunya UUDS 1950
Pada awal Mei 1950 terjadi penggabungan
negara-negara bagian dalam negara RIS, sehingga hanya tinggal tiga negara bagian
yaitu negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera
Timur. Perkembangan berikutnya adalah munculnya kesepaka-tan antara RIS yang
mewakili Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur dengan Republik
Indonesia untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Kesepakat-an tersebut kemudian dituangkan
dalam Piagam Persetujuan tanggal 19 Mei 1950. Untuk mengubah negara serikat menjadi negara
kesatuan diperlukan suatu UUD negara kesatuan. UUD tersebut akan diperoleh
dengan cara memasukan isi UUD 1945 ditambah bagian-bagian yang baik dari Konstitusi
RIS. Pada tanggal 15 Agustus 1950
ditetapkanlah Un-dang-Undang Federal No.7 tahun 1950 tentang Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) 1950, yang berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950. Dengan
demikian, sejak tanggal tersebut Konstitusi RIS 1949 diganti dengan UUDS 1950, dan
terbentuklah kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 terdiri atas Mukadimah dan Batang Tubuh, yang meliputi 6 bab dan
146 pasal. Mengenai dianutnya bentuk negara kesatuan dinyatakan dalam Pasal 1
ayat (1) UUDS 1950 yang berbunyi “Re-publik Indonesia yang merdeka dan
berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”. Sistem pemerintahan yang dianut pada masa
berlakunya UUDS 1950 adalah sistem pemerin-tahan parlementer. Dalam pasal 83
ayat (1) UUDS 1950 ditegaskan bahwa ”Presiden dan Wakil Pre-siden tidak dapat
diganggu-gugat”. Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa ”Menteri-menteri bertang-gung jawab atas
seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun
masing-masing untuk bagiannya
sendiri-sendiri”. Hal ini berarti yang
ber-tanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan adalah
menteri-menteri. Menteri-menteri tersebut bertang-gung jawab kepada parlemen
atau DPR. Lembaga-lembaga
negara menurut UUDS 1950 adalah :
a. Presiden dan Wakil Presiden
b. Menteri-Menteri
c. Dewan Perwakilan Rakyat
d. Mahkamah Agung
e. Dewan Pengawas Keuangan
Sesuai dengan namanya, UUDS
1950 bersifat se-mentara. Sifat
kesementaraan ini nampak dalam rumusan pasal 134 yang menyatakan bahwa
”Konstituante (Lembaga Pembuat UUD) bersama-sama dengan pemerintah
selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS
ini”. Anggota Konstituante dipilih
melalui pemilihan umum bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal 10 November
1956 di Bandung. Sekalipun konstituante telah bekerja kurang lebih selama dua
setengah tahun, namun lembaga ini masih belum berhasil menyelesaikan sebuah
UUD. Faktor penyebab ketidakberhasilan tersebut adalah adanya pertentangan
pendapat di antara partai-partai politik di badan konstituante dan juga di DPR
serta di badan-badan pemerintahan. Pada pada tanggal 22 April 1959 Presiden
Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali ke UUD 1945.
Pada dasarnya, saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat diterima oleh
para anggota Konstituante tetapi dengan pandangan yang berbeda-beda. Oleh
karena tidak memperoleh kata sepakat, maka diadakan pemungutan suara. Sekalipun
sudah diadakan tiga kali pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung
anjuran Presiden tersebut belum memenuhi persyaratan yaitu 2/3 suara dari
jumlah anggota yang hadir. Atas dasar hal tersebut, demi untuk menyelamatkan
bangsa dan negara, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan
sebuah Dekrit Presiden yang isinya
adalah:
1. Menetapkan pembubaran Konsituante
2. Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak
berlakunya lagi UUDS
1950
3. Pembentukan MPRS dan DPAS
Dengan dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 berlaku kembali sebagai lan-dasan
konstitusional dalam menyelenggarakan pemerintahan Republik Indonesia.
4. UUD 1945 Periode 5 Juli 1959
– 19 Oktober 1999
Praktik penyelenggaraan negara
pada masa berlakunya UUD 1945
sejak 5 Juli 1959- 19 Oktober 1999 ternya-ta mengalami berbagai pergeseran
bahkan terjadinya beberapa penyimpangan. Oleh karena itu, pelaksanaan UUD 1945
selama kurun waktu tersebut dapat dipilah menjadi dua periode yaitu periode
Orde Lama (1959-1966), dan periode Orde Baru (1966-1999). Pada masa pemerintahan Orde Lama,
kehidupan politik dan pemerintahan sering terjadi penyimpangan yang dilakukan
Presiden dan juga MPRS yang justru bertenta-ngan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Artinya, pelaksanaan UUD 1945 pada masa itu belum dilaksanakan seba-gaimana
mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada
kekuasaan seorang Presiden dan lemahnya kontrol yang seharusnya dilakukan DPR
terhadap kebijakan-kebijakan Presiden. Selain itu muncul pertentangan politik dan kon-flik lainnya yang
berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanan, dan kehidupan ekonomi
semakin memburuk. Puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pembe-rontakan
G-30-S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan
bangsa dan negara. Mengingat keadaan
semakin membahayakan, Ir.Soekarno selaku Presiden RI memberikan
perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang di-perlukan bagi terjaminnya
keamanan, ketertiban, dan ke-tenangan serta kestabilan jalannya
pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut
dianggap sebagai awal masa Orde Baru. Semboyan Orde Baru pada masa itu adalah
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dilihat dari
prinsip demokrasi, prinsip negara hukum, dan keadilan sosial ternyata masih
terdapat banyak hal yang jauh dari harapan.
Hampir sama dengan pada masa Orde Lama,
sangat dominannya kekuasaan
Presiden dan lemahnya kontrol DPR terhadap kebijakan-kebijakan
Presiden/pemerintah.Selain itu, kelemahan tersebut terletak pada UUD 1945 itu sendiri, yang sifatnya singkat
dan luwes (fleksi-bel), sehingga memungkinkan munculnya
berbagai penyi-mpangan. Tuntutan untuk merubah atau menyempur-nakan UUD 1945
tidak memperoleh tanggapan, bahkan pemerintahan Orde Baru bertekat untuk
mempertahankan dan tidak merubah UUD 1945.
5. UUD 1945 Periode 19 Oktober
1999 - Sekarang
Seiring dengan tuntutan reformasi
dan setelah lengsernya Presiden Soeharto sebagai pe-nguasa Orde Baru, maka
sejak tahun 1999 dilakukan perubahan
(amandemen) terhadap UUD 1945. Sampai saat ini, UUD 1945 sudah mengalami empat
tahap peruba-han, yaitu pada tahun 1999,
2000, 2001, dan 2002. Penyebutan UUD setelah perubahan menjadi lebih lengkap,
yaitu : Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Melalui empat tahap perubahan tersebut, UUD 1945 telah mengalami
perubahan yang cukup mendasar. Pe-rubahan itu menyangkut kelembagaan negara, pemili-han umum, pembatasan kekuasaan
Presiden dan Wakil Presiden, memperkuat
kedudukan DPR, pemerintahan daerah, dan ketentuan yang terinci tentang hak-hak
asasi manusia. Setidaknya, setelah
perubahan UUD 1945, ada beberapa praktik ketatanegaraan yang melibatkan rakyat
secara langsung. Misalnya dalam hal
pemilihan Presi-den dan Wakil Presiden,
dan pemilihan Kepala Daerah
(Gubernur dan Bupati/Walikota). Hal-hal tersebut tentu lebih mempertegas
prinsip kedaulatan rakyat yang dianut
negara kita. setelah melalui
serang-kaian perubahan (amandemen), terdapat lembaga-lembaga negara baru yang
dibentuk. Sebaliknya terdapat lembaga negara yang dihapus, yaitu Dewan
Pertimbangan Agung (DPA). Lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 sesudah
amandemen adalah:
a. Presiden
b. Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Dewan Perwakilan Rakyat
d. Dewan Perwakilan Daerah
e. Badan Pemeriksa Keuangan
f. Mahkamah Agung
g. Mahkamah Konstitusi
h. Komisi Yudisial
Semoga artikel Konstitusi Yang Pernah Berlaku di Indonesia bermanfaat bagi Anda.
Posting Komentar